05 Februari 2014

UU Desa & UU ASN

Undang-undang tentang Desa sudah disahkan oleh sidang Paripurna DPR RI tanggal 18 Desember 2013 lalu setelah melalui perdebatan panjang selama lebih dari 1 tahun dan tarik ulur berbagai kepentingan sosial dan politik. Walaupun tidak bisa secara langsung diimplementasikan karena masih harus menunggu Peraturan Pemerintah-nya dan Permendagri sampai Perda dan Perdes di tingkat paling bawah namun disahkannya UU Desa ini merupakan kado spesial akhir tahun bagi para Pelaku Pemberdayaan Masyarakat. UU Desa menghadirkan satu desa satu perencanaan dan satu desa satu sistem anggaran.



Dengan disahkannya UU Desa ini maka semua peraturan pelaksanaan tentang Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) dan terakhir diubah dengan Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2008  tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dua dari 11 azas pengaturan desa yang cukup signifikan yang tercantum pada pasal 3 adalah azas Rekognisi dan Subsidiaritas. Azas Rekognisi mencakup pengakuan keragaman budaya untuk membangun keadilan budaya (cultural justice) serta pengakuan terhadap kemandirian desa. Yang strategis adalah rekognisi terhadap Hak Asal-Usul, Inisiatif (prakarsa) dan produk hukum desa, tradisi dan institusi lokal. Azas Subsidiaritas mengatur masyarakat atau lembaga yang lebih tinggi kedudukannya harus memberi bantuan kepada anggota-anggotanya atau lembaga yang lebih terbatas sejauh mereka sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas mereka secara memuaskan. Sedangkan apa yang dapat dikerjakan secara memuaskan oleh satuan-satuan masyarakat yang lebih terbatas jangan diambil alih oleh satuan masyarakat yang lebih tinggi. Prakteknya nanti azas ini menjamin semua kegiatan pembangunan yang mampu dikerjakan sendiri oleh masyarakat secara swakelola tidak boleh dipihak ketigakan.

Yang cukup drastis akan berubah dengan adanya UU Desa ini adalah tentang Keuangan dan Aset Desa. Salah satunya seperti yang tercantum pada pasal 72 ayat (1) huruf b yang menyebutkan Pendapatan Desa bersumber salah satunya dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dijelaskan lebih lanjut di ayat (2) yang berbunyi Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat  dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan yang pada penjelasan UU Desa disebutkan sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top)  secara bertahap. Sumber pendapatan desa lainnya yang akan mengalami kenaikan drastis adalah Alokasi Dana Desa (ADD) yang pada pasal 72 ayat (4) disebutkan besarnya paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Besarnya dana yang akan digelontorkan ke desa ini bagaikan tsunami yang jika tidak dikelola dengan baik dan sumber daya manusia di desa terutama Kepala Desa dan perangkatnya tidak siap maka akan menyapu habis apa yang ada di desa.

Banyak praktek-praktek baik selama 14 tahun pelaksanaan PPK/PNPM-MPd yang diadopsi dan tertuang dalam UU Desa ini. Misalnya tentang beberapa asas pengaturan desa di pasal 3 yang mirip dengan prinsip-prinsip PNPM Mandiri Perdesaan, juga tentang mekanisme musyawarah desa dalam pengambilan keputusan pada pasal 54 serta tentang kerjasama antar desa di pasal 92 yang secara explisit menyebutkan keberadaan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD). Yang cukup menarik adalah pada pasal 92 ayat (6) disebutkan dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih. Apakah ini jawaban atas kebingungan kita selama ini tentang kepemilikan UPK??

Roh dari UU Desa ini adalah perlunya transformasi paradigma pemberdayaan masyarakat dari Community Driven Development (CDD) menjadi Village Driven Development (VDD) dimana desa ditempatkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat. Pada penjelasan UU Desa yang dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping dan manajemen. Dalam rangka mengantisipasi pelaksanaan UU Desa, fasilitator perlu mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
  • Menambah ketrampilan diri untuk mampu mendampingi Desa dalam kerangka kerja VDD.
  • Mereorientasi diri menjadi community organizer yang secara kreatif memfasilitasi Desa tumbuh menjadi kesatuan masyarakat hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
  • Mengubah sikap diri  menjadi Pemberdaya Masyarakat yang Mandiri dan Berpikir Kritis-Kontekstual
  • Memanfaatkan waktu yang terbatas dalam skala kerja PNPM Mandiri Perdesaan untuk melakukan Pembaharuan Diri


Status Pendamping Desa nantinya akan terkait erat dengan Undang Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang juga sudah disahkan oleh DPR RI. Di dalam UU ASN pasal 6 disebutkan selain PNS ada yang disebut dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Pada pasal 18 ayat (2) UU ASN disebutkan tentang jabatan fungsional keahlian yang meliputi : ahli utama, ahli madya, ahli muda dan ahli pertama, sedangkan jabatan fungsional ketrampilan diatur di pasal 18 ayat (3) yang meliputi : penyelia, mahir, trampil, pemula. Jika melihat UU ASN tersebut maka sertifikasi fasilitator yang saat ini gencar dipromosikan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (FPM) menjadi pas dan sinergis dengan kebutuhan Pendamping Desa nantinya. Perlu perjuangan agar profesi Pemberdaya Masyarakat diakui sejajar dengan profesi lainnya dan bisa menjadi profesi yang berkelanjutan….semoga.

Selengkapnya tentang UU Desa dan UU Aparatur Sipil Negara silakan download :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar