05 September 2013

Mencari Gelar di Indonesia Lebih Sulit Daripada di Luar Negeri


Pada mulanya sistem pendidikan formal di Tanah Air sangat dipengaruhi sistem pendidikan Belanda dikarenakan Belanda telah menancapkan kekuasaannya alias menjajah di bumi nusantara ini kurang lebih tigaratus limah puluh tahun lamanya. Sekolah dan perguruan tinggi dalam wadah pendidikan formal mau tidak mau menganut tata cara, prinsip, sistem pendidikan Belanda kecuali mungkin pendidikan dikalangan pesantren yang relatif berhasil mempertahankan jati dirinya sebagai institusi pendidikan yang 'khas' tradisional Indonesia. Pada era masa lalu terdapat dua jenis perguruan tinggi yang diminati dan dikenal masyarakat serta amat jelas perbedaannya yakni akademi dan universitas. Tamat dari akademi selama kurang lebih tiga tahun lulusannya diberi gelar atau titel dengan BA (Bachelor of Art) atau setara dengan sarjana muda. Jika lulusan akademi ingin melanjutkan studi ke jenjang doctor ia mesti mengambil dulu gelar doctorandus (drs) yang adanya hanya di universitas. Sebelum meneruskan ke tingkat doktor wajib bagi mahasiswa memiliki gelar 'doctorandus' yang bermakna calon doktor. Jadi mereka yang lulus sebagai Drs (Doctorandus) itu tinggal satu langkah lagi untuk mendapatkan gelar Dr (Doktor). Gelar drs yang disandangnya sejajar dengan gelar magister sekarang ini dan gelar itu sebagai prasyarat sebelum boleh mengikuti jenjang pendidikan Dr. Tetapi biasanya pada masa itu banyak mahasiswa yang telah cukup puas meraih gelar Drs karena memang studi jenjang Drs amat berat dan memakan waktu lama untuk memperolehnya.


Berbeda dengan sistem sks (satuan kredit semester) yang dipengaruhi sistem pendidikan di Amerika Serikat, pada sistem pendidikan Belanda tingkat kelulusan sangat ketat misalnya dalam tingkat atau tahun pertama (mereka tidak menggunakan sistem semester) mahasiswa dituntut lulus 5 matakuliah. Seandainya ada satu matakuliah tidak lulus dari lima matakuliah itu maka yang bersangkutan mesti mengulang tingkat pertama atau itu berarti ikut lagi mengambil matakuliah yang sudah lulus. Fenomena mengulang kembali semua mata kuliah berlangsung hingga tingkat akhir (tingkat 5). Betapa payah dan sulitnya menyandang status Drs. Oleh karena itu pada era sistem pendidikan ala zaman Belanda tidak sedikit mahasiswa yang lama dalam menyelesaikan studinya. Jarang mahasiswa lulus Drs dalam hitungan enam tahun bahkan ada yang melampui dua digit alias sepuluh tahun keatas. Bisa dibayangkan bila tamat Drs dalam waktu sepuluh tahun lalu meneruskan ke jenjang Dr, maka betapa lamanya mahasiswa selesai studi meraih gelar akademik  tertinggi  di universitas model Belanda itu.

Pada sekitar tahun 1980 pemerintah Indonesia menerapkan stratafikasi jenjang perguruan tinggi yang tidak dpungkiri dipengaruhi sistem pendidikan Amerika yakni meliputi jenjang S1 (sarjana), S2 (master) dan S3 (doktor) mirip dengan yang diberlakukan di negara Amerika dan sebagfaian Eropa yakni Bachelor, Master dan Doktor. Dengan diberlakukannya sistem ini maka tidak ada lagi gelar Drs yang sebenarnya bisa langsung melanjutkan studi ke jenjang Dr. Lalu pada masa peraliahan mereka yang lulus dengan gelar Drs ketika ingin melanjutkan studi lebih tinggi terutama di luar negeri gelarnya tersebut hanya diakui setingkat sarjana (S1), padahal meraih Drs bisa dua kali masa studinya dibanding S1 yang dapat diraih rata-rata 4 tahun. Sebagaimana diketahui di Amerika gelar S1 bahkan bisa diraih dalam waktu kurang lebih 3 tahun (sama dengan masa studi sarjana muda kita pada masa lalu).

Walau kita banyak sekali mencontoh sistem pendidikan Amerika namun menirunya masih "malu-malu kucing" atau setengah-setnagah, kenapa demikian? Sepanjang sepengetahuan saya di Amerika disamping waktu studi Bachelor (S1) bisa lebih singkat dibanding di Indonesia, penulisan skripsi (yang menjadi kendala banyak mahasiswa disini) tidak diwajibkan, jangankan level S1, di jenjang S2 saja dalam meraih  gelar M.Ed (Master of Education) di Amerika misalnya kita tidak perlu menulis thesis. Meski tidak menulis tesis bukan berarti mutu lulusannya buruk. Hal ini bisa diketahui manakala banyak kalangan terutama di dunia usaha dan industri lebih menyenangi lulusan luar negeri dibanding dalam negeri. Kalau begitu muncul pertanyaan ada apa dengan sistem pendidikan di negeri ini? Mengapa banyak kalangan meragukan kualitas lulusan dalam negeri? Padahal mendapatkan gelar S1 cukup berat yakni melalui penulisan skripsi yang ketat dan sulit (apalagi kalau menemukan dosen yang tidakl koperatif), sehingga daya juang mahasiswa S1 kita sebenarnya lebih berat dar pada mahasiswa Bachelor di Amerika Serikta. Namun, seperti yang dipaparkan diatas banyak kalangan yang kurang tertarik dengan “produk” lokal ini.

Kewajiban membuat thesis bagi mahasiswa di negara-negara yang sistem pendidikannya ditiru Indonesia itu baru diberlakukan apabila mahasiswa mengambil gelar Master of Philosophy (MPhil). Untuk mereka yang akan mengambil gelar MPhil diwajibkan menulis thesis, sedangkan program master selain MPhil tidak diwajibkan. Hal ini dikarenakan MPhil memang khas bagi mereka yang terlibat aktif di dunia research and development atau selaku peneliti. Oleh karena itu agar efektif sebaiknya para mahasiswa MPhil tidak yang berasal dari kalangan birokrat, profesional atau praktisi.

Di negara-negara maju mereka menyiapkan program Master yang tanpa thesis untuk mereka yang latar belakang pekerjaannya bukan dalam konteks riset dan pengembangan. Artinya jika pejabat birokrasi, kepala sekolah, manajer/kepala bagian dan seterusnya ingin melanjutkan studi disarankan jangan mengambil MPhil tetapi program Master selain MPhil seperti MEd, MBA, MBM, dan sejumlah program Master yang memang dirancang untuk kalangan praktisi. Namun demikian pada jenjang Doktor selain PhD (Philosophy of Doctor) para mahasiswanya juga diwajibkan menulis thesis doktor, meski kriteria thesis yang dibuat berbeda dengan mereka yang mengambil PhD karena memang asarannya tidak sama. Jika doktor yang diikuti kalangan praktisi profesional maka disertasinya diarahkan pada tugas pekerjaannya yang lebih bersifat praktis dan bermanfaat langsung bagi pengembangan karir, maka PhD betul-betul murni riset yang berguna untuk pengembangan ilmu.

Demikianlah sekilas tentang sistem pendidikan tinggi dan perguruan tinggi terkait jenjang S1 S2 dan S3 dinegara tempat banyak mahasiswa kita yang belajar disana termasuk juga pemegang kebijakan pendidikan kita pun banyak yang melanjutkan studi di negara-negara tersebut. Namun amat disayangkan di Indonesia untuk jenjang S2 dan S3 tampaknya arah pendidikannya lebih ke philosophy ketimbang profesi. Sehingga program pendidikan Magister dan Doktor kita semuanya riset murni yang mengikuti program MPhil dan PhD. Alhasil, kita menghasilkan lulusan-lulusan yang kuat berfilosofi daripada mampu untuk mewujudnyatakan teori preskriptif di tempat mereka berkarir. Wallahu 'alam. 



Judul asli : Sarjana, Magister dan Doktor di Indonesia

DITULIS OLEH ARIES MUSNANDAR    
SENIN, 15 JULI 2013 22:40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar